Di Indonesia, pendekatan pemetaan partisipatif pertama kali diterapkan pada tahun 1992 oleh para aktivis konservasi sebagai bagian dari proses perencanaan pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang di Kalimantan Timur. Inisiatif ini melibatkan masyarakat lokal dalam proses pemetaan wilayah adat dan sumber daya alam yang mereka kelola. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam mendorong pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya. Sejak saat itu, pemetaan partisipatif berkembang menjadi alat strategis dalam perjuangan hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya yang adil dan berkelanjutan.
Pengalaman tersebut menjadi salah satu sumber inspirasi bagi sejumlah aktivis di Kalimantan untuk memperluas penggunaan pemetaan partisipatif sebagai alat dalam gerakan pemberdayaan masyarakat adat. Para aktivis ini juga mendapatkan dorongan semangat dan ide dari praktik pemetaan serupa yang dilakukan oleh komunitas adat di negara lain seperti Kanada dan Filipina. Melalui proses belajar lintas negara ini, mereka memperkaya pendekatan lokal dengan perspektif global. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya, tetapi juga mendorong solidaritas dan kolaborasi antar komunitas di berbagai belahan dunia.
Aktivis gerakan petani dan nelayan di berbagai wilayah Indonesia juga memanfaatkan pemetaan partisipatif sebagai sarana pengorganisasian dan alat strategis dalam merancang pengelolaan produksi mereka secara kolektif. Banyak dari para aktivis ini kemudian berperan dalam pembentukan Badan Perserikatan Lingkungan Hidup (BPLH) pada tahun 1996. Pembentukan BPLH menjadi langkah penting dalam memperkuat jaringan solidaritas antar komunitas yang memperjuangkan kedaulatan atas tanah dan sumber daya alam. Selain itu, keberadaan lembaga ini turut mendorong lahirnya kebijakan berbasis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Sejarah
Saat ini
Pemetaan partisipatif digunakan oleh para aktivis gerakan petani, nelayan dan masyarakat adat di sejumlah tempat di Indonesia sebagai alat pengorganisasian dan penataan basis produksi, serta diposisikan sebagai peta tanding bagi klaim-klaim sepihak Negara dan pihak lain atas pemilikan, penguasaan dan pengelolaan wilayah oleh rakyat.
Nilai-nilai yang dikembangkan pada pemetaan partisipatif antara lain:
- menghormati dan melindungi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)
- memprioritaskan aspirasi, partisipasi, dan kepentingan masyarakat secara aktif
- menegakkan kehidupan bersama yang adil dan setara bagi semua
- mendukung pengelolaan lingkungan yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari ekosistem
- memanfaatkan pemetaan sebagai wadah pembelajaran kolektif, dengan tujuan utama menegakkan kedaulatan rakyat atas ruang hidup mereka